Minggu, 20 Januari 2013

Kearifan Lokal di Jawa Barat


Sejatinya, perkembangan budaya di Jawa Barat selalu diiringi oleh perkembangan masyarakatnya. Dalam kaitan tersebut, yang berkembang bisa saja dimulai dari perkembangan (dialek) bahasa, cara hidup, sosial, dan pemerintahan. Tentu ini merupakan suatu gejala sosial yang dapat diamati. Karena manusia mempunyai cara pandang yang tak terbatas mengenai masyarakatnya. Masyarakat merupakan komunitas dari sebuah sistem suatu peradaban. Yang mana kita sendiri merupakan bagian dari masyarakat tersebut.
Sejak dahulu, Jawa Barat disebut juga sebagai Tatar Pasundan atau Tatar Sunda. Dan masyarakatnya dapat diidentifikasi melalui bahasanya, yaitu bahasa Sunda. Begitu pula dengan daerah lain. Jawa Barat pun mewariskan berbagai peninggalan budaya serta kearifan lokal masyarakatnya sebagai wujud dari eksistensi sebuah peradaban. Salah satunya yaitu eksistensi kampung adat. Keberadaan kampung adat di Tatar Pasundan ini dapat juga merupakan simbol dari budaya luhung para nenek moyang kita. Yang sejak dahulu sudah hidup secara beradab dengan segala kedinamisan di dalam tata kehidupannya.
Namun sekarang, keberadaan dari kampung adat di Jawa Barat kian tergerus oleh zaman. Jika ini dibiarkan berlarut maka keberadaan kampung adat sebagai simbol kearifan lokal nenek moyang kita akan hilang. Sungguh sangat disayangkan jika kelak anak-cucu kita mengetahui kampung-kampung adat Jawa Barat hanya dari lembaran-lembaran buku sejarah. Sebut saja di antaranya yang masih eksis sampai sekarang yaitu, Kampung Ciptagelar, Kampung Cikondang, Kampung Mahmud, Kampung Urug, Kampung Pulo, Kampung Naga, Kampung Kuta, dan Kampung Dukuh.
Pemerintah dalam hal ini mesti segera oper perseneleng untuk melestarikan serta melindungi budaya dan kearifan lokal (local wisdom) dari kampung adat. Secara kultural, sistem kemasyarakatan dari kampung ada pada zaman dahulu itu tidak kalah canggih dengan sistem kemasyarakatan saat ini. Hal tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut.
Pertama, istilah “hutan larangan” sebagai upaya pelestarian hutan yang secara adat tidak boleh dimasuki secara sembarangan. Ini sama ubahnya dengan peran Kementrian Perhutanan sekarang yang menjaga dan mengatur kelestarian sumber daya hayati hutan kita. Secara linguistik, masyarakat dahulu menciptakan istilah tabu agar ditaati warganya, tidak merambah hutan, dan merusaknya.
Kedua, adat istiadat yang secara normatif diatur dan dibuat untuk ketentraman kehidupan bermasyarakat. Ini juga sama dengan peran Kementrian Hukum dan Ham pada masa sekarang.
Ketiga, tata bentuk rumah-rumah yang seragam di kampung adat yang secara semiotik—ilmu yang mengkaji tanda—dapat diidentifikasi sebagai rasa tenggang rasa antarsesama manusia (dan makhluk hidup lainnya).
Keempat, budaya disiplin masyarakat kampung adat yang sejak pagi buta telah terbiasa mulai beraktivitas. Ini merupakan cerminan dari sikap asli bangsa kita.
Kelima, ekonomi dan pertanian yang menjadi mata pencaharian mayoritas masyarakat kampung adat. Ini menjadi ciri bangsa kita sebagai bangsa yang agraris.
Itu semua merupakan sebagian kecil dari kearifan lokal (local wisdom) yang patut kita lestarikan. Karena bangsa kita dikenal dengan bangsa yang kaya dengan budaya. Dan kearifan lokal tersebut merupakan jati diri bangsa kita yang sebenarnya. Tetapi, banyak permasalahan pelik yang menyangkut eksistensi masyarakat kampung adat sekarang mengenai hal-hal yang bersifat administratif pemerintahan. Alih-alih berkembang ke arah yang lebih baik, malah sebaliknya. Mungkin itulah sebabnya eksistensi dari kampung adat mulai pudar.
Namun, itu semua merupakan tugas kita bersama untuk menyelesaikannya jika kita tidak ingin kehilangan kearifan lokal yang bernilai luhur dari nenek moyang kita. Sebab, jika suatu bangsa mulai melupakan nilai-nilai luhur warisan nenek moyang maka sama juga dengan bangsa yang tidak beradab.

 http://sosbud.kompasiana.com/2012/01/06/budaya-dan-kearifan-lokal-di-jawa-barat-425340.html

Senin, 14 Januari 2013

Pasang ri Kajang

Pasang ri Kajang merupakan pedoman hidup masyarakat Ammatoa yang terdiri dari kumpulan amanat leluhur. Masyarakat Ammatoa menganggap sakral Pasang ri Kajang karena apabila tidak dilaksanakan dalam kegiatan sehari hari akan berdampak buruk berupa rusaknya keseimbangan ekologis dan kacaunya sistem sosial. Pasang merupakan panduan bagi manusia dalam segala aspek, baik itu aspek sosial, religi, mata pencaharian, budaya, lingkungan serta sistem kepemimpinan.
Sekilas Pasang menyerupai ajaran agama mengatur pola kehidupan mausia secara holistik. Masyarakat Ammatoa menganggap bahwa Pasang lebih luas dari agama. Faktanya masyarakatnya menganut sistem kepercayaan yang dinamakan Patuntung.
Sebagaimana halnya  kearifan lokal yang terdapat pada masyarakat adat pada umumnya, Pasang memuat berbagai  ajaran leluhur yang substansinya adalah menuntun manusia untuk  berbuat baik, hidup jujur dan sederhana. Hal itu tampak dalam ajaran  yang terdapat dalam Pasang berikut ini :

Patuntung manuntungi, Manuntungi kalambusanna na kamase-maseanna, Lambusu’, Gattang, Sa’bara nappiso’na,

Artinya :
Manusia yang telah menghayati dan melaksanakan apa yang dituntutnya dikawasan adat (Ammatoa), yakni yang menuntut kejujuran, kesabaran, ketegasan, kebersahajaan dan kepasrahan dalam hidupnya.

 http://www.berdikarionline.com/sisi-lain/kebudayaan-lokal/20120219/pasang-ri-kajang-kearifan-lokal-masyarakat-ammatoa-bulukumba.html